Fobis.ID > News > Stagflasi, Lebih Menakutkan dari Resesi

Stagflasi, Lebih Menakutkan dari Resesi

Stagflasi – Pasca berjibaku dengan persoalan pandemi Covid-19 yang begitu menguras tenaga, dunia kembali terancam akan menghadapi masalah yang lebih besar lagi. 

Banyak negara-negara di dunia mengalami inflasi, yang direspon secara agresif oleh sejumlah bank sentral dengan cara menaikkan suku bunga.

Walhasil, tahun 2023 mendatang Bank Dunia memprediksi bahwa dunia akan di hantam badai resesi yang sangat dahsyat. 

Tanda-tanda terjadinya badai resesi tersebut mulai dapat dilihat dengan adanya pelambatan yang terjadi pada tiga pilar ekonomi besar dunia. 

Yaitu negara Amerika Serikat, Cina dan sejumlah negara di kawasan Eropa mengalami pelambatan ekonomi yang tajam. 

Bank Dunia memprediksi hingga tahun depan kenaikan suka bunga akan terus dilakukan. Namun langkah tersebut tak dapat membendung laju inflasi kembali seperti sebelum pademi Covid-19. 

Untuk dianggap sebagai inflasi awal, sejumlah bank sentral mungkin perlu menaikkan suku bunga hingga dua titik saat ini. 

Tambahan suku bunga di atas rata-rata dua poin ini sudah dapat dilihat sejak tahun 2021 kemarin. 

Namun bank dunia mengingatkan jika tambahan dua poin tersebut bisa memperlambat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global. 

Pada tahun mendatang PDB dunia diperkirakan akan menyusut ke angka 0,5% dari yang sebelumnya hanya 0,4%. 

Menurut lembaga internasional itu, hal itu memenuhi definisi teknis dari resesi dunia. Jika inflasi tak bisa dikendalikan, maka akan terjadi Stagflasi. 

Baca Juga : Tertinggi Sejak 2014, Inflasi RI Naik 1,17%

Stagflasi, Lebih Menakutkan dari Resesi

Stagflasi Lebih Menakutkan dari Resesi

Stagflasi memang cukup langka, karena kondisi ini jarang sekali terjadi. Tidak seperti resesi yang sering terjadi. Istilah stagflasi pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970an. 

Sampai saat ini kondisi tersebut belum pernah terjadi lagi. Kondisi saat ini baru sebatas kekhawatiran atau resiko yang bisa saja terjadi. 

Tahun 1973-1974, saat satgflasi terjadi, Wall Street (Bursa saham AS) rontok, indeks S&P 500 turun 17,4%, bahkan sampai 30% di tahun-tahun tersebut. 

Stagflasi juga bisa diartikan sebagai periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi.

Sedangkan resesi adalah terjadinya kontraksi pertumbuhan ekonomi yang terjadi dalam dua kuartal berturut-turut.

Keduanya sama-sama memiliki dampak yang buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, namun dampak stagflasi bisa lebih parah dari resesi.

Saat inflasi tinggi dan PDB melanda atau stagnan, maka perlahan-lahan kondisi ekonomi juga akan semakin memburuk. 

Ketika kondisi perekonomian memburuk, angka pemutusan hubungan kerja (PHK) akan naik yang menyebabkan beberapa gejala juga naik.

Tingginya inflasi dan naiknya angka pengangguran bisa jadi salah satu ciri dari stagflasi. Krena, antara keduanya biasanya berkebalikan.

Baca Juga : IHSG Menguat, Saham-Saham Ini Bisa Jadi Pilihan

Pengaruhnya bagi Indonesia

Saat terjadinya situasi stagflasi di Indonesia memang sangat kecil, jika jumlah negara besar seperti AS dan Eropa mengalaminya, maka akan sangat terasa sampai di Indonesia. 

Stagflasi bisa berlangsung bertahun-tahun dan lebih sulit disembuhkan dari resesi. Pemerintah harus dapat menyeimbangkan antara inflasi dan tenaga kerja. 

Saat inflasi naik maka suku bunga juga akan mengalami kenaikkan, namun akibat dari tenaga yang akan turun dan perubahan tingkat pun pasti meningkat.

Sebaliknya, jika tingkat tinggi maka yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah, namun risikonya inflasi akan meningkat.

Masyarakat jelas akan merasakan dampak yang sangat berat. tingkat yang tinggi membuat pendapatan masyarakat rendah.

Namun harga barang-barang akan sangat mahal dari barang-barang inflasi yang tinggi dan tidak dapat dikendalikan. 

Ikuti Kami di Google News

Tinggalkan komentar